Terorisme di Indonesia merupakan terorisme di
Indonesia yang dilakukan oleh kelompok militan Jemaah Islamiyah yang
berhubungan dengan Al-Qaeda ataupun kelompok militan yang menggunakan
ideologi serupa dengan mereka. Sejak tahun 2002, beberapa "target negara
Barat" telah diserang. Korban yang jatuh adalah turis Barat dan juga
penduduk Indonesia. Terorisme di Indonesia dimulai tahun 2000 dengan
terjadinya bom di Bursa Efek Jakarta, diikuti dengan empat serangan besar
lainnya, dan yang paling mematikan adalah Bom Bali 2002.
Dalam berbagai pemberitaan, banyak disebut aksi terorisme yang
terjadi di Indonesia didasari oleh semangat jihad dalam rangka menegakkan
syariat Islam. Hal tersebut kemudian berisiko membentuk opini negatif di
masyarakat mengenai makna jihad yang sesungguhnya. Lebih dari itu, aksi
terorisme tersebut juga berpotensi mendiskreditkan posisi Islam, baik di mata
nasional maupun internasional. Apa yang sebenarnya terjadi dengan semua hal
tersebut? Deputi Bidang Pencegahan Badan Nasional
Penanggulangan Terorisme (BNPT), Mayjen Agus Surya Bhakti, pernah mengatakan
bahwa terjadi penyimpangan makna jihad yang disamakan dengan terorisme. Menurutnya,
hal tersebut terjadi karena adanya kedangkalan dan keterbatasan pemahaman para
pelaku aksi terorisme mengenai makna jihad yang dimuliakan oleh Islam.
Kesalah pahaman tersebut menjadikan jihad
dimaknai dalam bentuk kemasan agama. Para pelaku teroris tidak memperhatikan
dengan baik unsur sosial di dalamnya, sehingga menimbulkan anggapan bahwa
mereka dan agama merekalah yang benar. Inilah yang
kemudian menciptakan impian untuk membentuk negara Islam yang hakiki menurut
intepretasi mereka (pelaku teroris).
Memang benar jihad itu baik, Majelis Ulama
Indonesia (MUI) saja menegaskan dalam Fatwa Nomor 3 Tahun 2004 bahwa jihad itu
wajib dalam kondisi perang agama yang mengancam keberlangsungan sebuah negara
dan masyarakatnya. Sayangnya, fatwa tersebut dimaknai hanya sebagai perang
suci, namun tidak dilihat dari kondisi negara dan masyarakat Indonesia saat
ini, di mana tengah berada di dalam kondisi tenang, tidak dalam kondisi perang.
Isu
terorisme yang dilakukan oleh kelompok Islam radikal telah muncul sejak lama di
Indonesia, yakni sejak zaman DI/TII di dekade 50-an. Menuut catatan BNPT,
setelah penumpasan besar-besaran DI/TII oleh militer negeri ini, sebenarnya
masih tersisa kelompok-kelompok kecil yang melanjutkan gerakan tersebut.
Namun
karena tekanan yang cukup keras di masa Orde Baru, banyak dari anggota
kelompok-kelompok kecil pecahan DI/TII tersebut lari ke Malaysia. Di
negeri jiran ternyata mereka dapat bebas beraktivitas serta berkesempatan
memperluas jejaring dengan pihak-pihak yang sepaham, baik di Malaysia maupun di
luar negeri.
Dari
perluasan jejaring itulah kemudian mempertemukan mereka dengan kesempatan untuk
membantu perjuangan umat Muslim dalam konflik di Afghanistan. Di sana mereka
ternyata bersentuhan dengan beberapa kelompok teroris internasional, di mana
salah satunya adalah Jamaah Islamiyah (JI). Persentuhan tersebut mengakibatkan
mereka yang berjuluk mujahid ini mengalami pencucian otak mengenai ideologi
Islam garis keras.
Aksi pengeboman tersebut awalnya memang merupakan
hasil persentuhan para mujahid dengan kelompom Jamaah Islamiyah. Namun setelah
penangkapan berbagai tokoh kunci aksi terorisme tersebut, kini kegiatan teror
terpecah-pecah menjadi kelompok lebih kecil. Para kelompok kecil ini masih
tetap menjadi bagian dari kelompok besar sebelumnya, namun karena kosongnya
posisi pemimpin, maka aksi mereka pun melemah.
Konon para mujahid tersebut mulai berani kembali
ke tanah air sejak era reformasi. Karena tekanan yang mulai melemah terkait
eksistensi mujahid di Indonesia, membuat celah terjadinya aksi terorisme kain
meningkat. Dari sinilah kemudian mulai terjadi aksi terorisme nyata dalam
bentuk pengeboman, seperti Bom Bali I di tahun 2002, Bom Bali II, Bom Kuningan,
dan lain-lain.
Meskipun
begitu, kita harus tetap waspada terhadap aksi terorisme karena hal tersebut
masih berpotensi kuat terjadi Indonesia. Diperlukan aksi pencegahan yang
bersifat semesta, yakni berupa pengerahan semua kemampuan negara dan
masyarakat dalam mederadikalisasi aksi terorisme di Indonesia. Hal ini dilakukan
karena penanggulangan terorisme tidak dapat dilimpahkan ke negara arah lembaga
tertentu saja, melainkan dalam bentuk kerja sama dengan seluruh komponen negara
dan masyarakat Indonesia.
Mengingat
penyebaran aksi terorisme yang semakin meluas di tanah air, bahkan hingga ke
elemen-elemen terkecil di masyarakat, diperlukan adanya kesadaran hidup dalam
kedamaian. Sikap apatis dalam bermasyarakat dapat mendorong munculnya kekerasan
dari oknum-oknum tertentu yang mengalami pemahaman dangkal akan makna kehidupan
sosial yang damai. Jangan sampai kondisi apatis di dalam masyarakat kian
meningkat, karena sikap apatis terbukti telah banyak menjadi salah satu faktor
penyebab tumbuhnya aksi terorisme.
WASPADA BAHAYA LATEN TERORIS !!!
No comments:
Post a Comment